BelitongToday, Tanjungpandan – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri menggelar dialog Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) in American and European Market di Hotel Sheraton, Desa Tanjung Binga, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung, Rabu (23/11).
Dialog tersebut diikuti oleh duta besar maupun perwakilan negara-negara di Amerika dan Eropa yang selama ini menjadi pasar minyak kelapa sawit Indonesia.
Dialog ini bertujuan untuk menepis soal isu maupun tudingan dunia internasional terhadap minyak kelapa sawit Indonesia yang tidak ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable).
“Dialog sore ini adalah untuk meningkatkan pemahaman terutama dari negara-negara pasar kelapa sawit Indonesia mengenai konsep ISPO,” ujar Direktur Perdagangan Perindustrian Komoditas dan Kekayaan Intelektual Kementerian Luar Negeri, Antonius Yudi Triantoro kepada BelitongToday, Rabu (23/11).
Ia menyebutkan, ISPO memang sengaja dibangun untuk memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit agar sesuai dengan isu-isu keberlanjutan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) seperti perlindungan sosial, perlindungan lingkungan, dan lain sebagainya.
“Karena beberapa pasar kelapa sawit Indonesia di luar negeri di negara-negara tertentu itu menganggap isu perlindungan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk masuk ke pasar mereka, jadi semacam ada hambatan perdagangan,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menyampaikan, ISPO juga dibangun untuk menunjukan bahwa tidak sepenuhnya betul kelapa sawit di Indonesia merusak lingkungan dan melanggar norma-norma sosial seperti mempekerjakan buruh yang masih anak-anak dan tuduhan negatif lain.
“Melalui dialog ini kami ingin mengajak mereka untuk menerima ISPO standar sehingga kelapa sawit kita tidak mendapatkan halangan lagi, karena kita sekarang sudah punya ISPO, kira-kira seperti itu,” bebernya.
Antonius menyebutkan, untuk mencapai hal tersebut bukanlah perkara mudah sebab ada perbedaan cara pandang terhadap sustainability (keberlanjutan).
“Karena negara-negara barat lebih heavy (fokus) pada perlindungan lingkungan, sedangkan kita melihat nilai ekonomi kelapa sawit. Kita melihat kelapa sawit itu sebagai sarana untuk mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, jadi memang masih ada sedikit perbedaan cara pandang sustainability, lebih kepada prioritas,” terangnya.
Antonius mencontohkan, saat ini masih ada hambatan dalam pemasaran minyak kelapa sawit Indonesia di pasar Eropa, seperti adanya aturan yang melarang masuknya kelapa sawit Indonesia untuk bahan biofuel.
“Pemerintah Indonesia menuntut di World Trade Organization (WTO) dan sekarang prosesnya masih jalan, di WTO kita bilang kebijakan Uni Eropa untuk mendiskriminasi sawit Indonesia sebagai bahan biofuel itu tidak benar karena mereka masih membolehkan misalnya biofuel yang berasal dari minyak kedelai dan dari bunga matahari, hanya minyak kelapa sawit yang tidak boleh. Ini kan tidak adil, padahal ini klasifikasinya sama yaitu minyak nabati,” terangnya.
Antonius menambahkan, para peserta dialog juga akan diajak untuk melihat perkebunan kelapa sawit di Belitung secara langsung sehingga mereka memiliki gambaran dan pemahaman tentang pengolahan minyak kelapa sawit yang ramah lingkungan dari Indonesia.
“Kunjungan lapangan untuk menunjukkan kepada mereka bahwa pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah sesuai dengan kaidah-kaidah keberlanjutan, entah itu lingkungan dan secara sosial itu yang ingin kami perlihatkan kepada mereka. Diharapkan nantinya akan melaporkan ke negara mereka terkait situasi di lapangan,” sebutnya. (Nazriel).