BelitongToday, Jakarta – Hakim Pengadilan Tipikor (Tipikor) Jakarta Pusat mengatakan kelangkaan minyak goreng yang terjadi tahun lalu tidak lepas dari kebijakan pemerintah.
Hakim mengatakan, pemerintah melalui Menteri Perdagangan mengesahkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 6 Tahun 2022 yang mensyaratkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng.
Dalam hal ini, hakim membuat pernyataan saat membacakan putusan tentang korupsi ekspor minyak sawit mentah atau minyak mentah (CPO).
“Menteri perdagangan menetapkan HET melalui Permendag Nomor 6 Tahun 2022 tanggal 27 Januari 2022. Hal ini termasuk pemicu kelangkaan minyak goreng,” kata hakim di ruang sidang, Rabu (4/1).
Hakim menilai, kerugian perekonomian negara akibat kelangkaan minyak bukan hanya karena tidak dipenuhinya kewajiban pasar dalam negeri (DMO) oleh produsen.
Setelah keluarnya Permendag Nomor 6 Tahun 2022 pada 27 Januari 2022, menurut hakim, minyak goreng hilang dari pasaran keesokan harinya.
Setelah itu, kekacauan terjadi di pasar dan ada tekanan dari para pihak untuk menghapuskan Permendag. Terakhir, pada 16 Maret 2022, pemerintah membatalkan Permendag. Keesokan harinya, menurut hakim, minyak goreng langsung dijual di pasar.
“Hal ini terlihat bahwa intervensi pemerintah terhadap pasar khususnya terhadap minyak goreng termasuk salah satu faktor yang berkontribusi mengakibatkan kelangkaan migor dan kenaikan harga migor di pasar,” tutur dia.
Hakim mengatakan, pemerintah melakukan kesalahan fatal dengan ikut campur dalam pasar.
Alasannya, aksi ini tidak didukung dengan infrastruktur atau sarana seperti Pertamina di bidang BBM.
“Pemerintah tidak memiliki stok minyak goreng dan tidak memiliki badan atau lembaga yang menguasai minyak goreng,” ujar hakim.
Peninjauan hakim mengacu pada keterangan atau pendapat salah seorang ahli. Kasus dugaan korupsi ekspor CPO didakwa lima orang.
Mereka adalah mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Dirjen Daglu) Indra Sari Visnu Vardhana dan tim pendukung Menteri Koordinator Perekonomian Lin Che Wei.
Kemudian, General Works PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor; dan Chief Corporate Affairs Officer Permata Hijau Group, Stanley MA.
Dalam kasus ini, Indra Sari dipenjara selama 3 tahun dan tuannya dipenjara selama 1 tahun 6 bulan. Sedangkan Lin Che Wei, Pierre dan Stanley Ma divonis 1 tahun penjara. Kelima terdakwa juga didenda masing-masing Rp 100 juta, ditambah dua bulan penjara.
Kelima terdakwa juga didenda masing-masing Rp 100 juta ditambah dua bulan penjara.
Jaksa menduga mantan Dirjen Perdagangan dan Hubungan Luar Negeri Departemen Perdagangan itu melakukan tindakan ilegal dalam memperoleh izin ekspor CPO atau minyak sawit mentah.
Aksi pemberian Izin Ekspor (PE) Visnu disebut-sebut memperkaya orang dan perusahaan lain.
Menurut Jaksa, perbuatan tersebut dilakukan bersama-sama dengan empat orang terdakwa lainnya. Akibatnya, sekitar Rp 18,3 triliun rusak.
Kerugian negara ini berjumlah total Rp6.047.645.700.000 dan kerugian ekonomi Rp12.312.053.298.925.
“Merugikan keuangan negara sejumlah Rp 6.047.645.700.000 dan merugikan perekonomian negara sejumlah Rp 12.312.053.298.925,” kata jaksa dalam dakwaannya. (Mg2)